Radermacher seorang penulis Belanda di abad ke 18
melaporkan bahwa Pulau Bangka dan Belitung di abad 17 merupakan dua
gundukan hutan yang belum tersentuh tangan para pendatang. Hasil bumi
para penduduk asli yang hanya beberapa gelintir itu hanyalah hasil
hutan. Karya mereka yang paling bermartabat adalah tikar pandan yang
ternyata mampu terjual keluar pulau. Di samping tikar pandan ditemukan
hasil hutan lain seperti gambir, damar, kemenyan, dan madu hutan. Yang
lain tidak ada, minimal tidak terlaporkan.
Dimana timahnya? Belum ada yang tahu. Ini artinya bagaikan
sebuah keluarga yang tidak tahu menahu jika di bawah rumahnya ada harta
karun yang tak ternilai harganya. Konon, timah ditemukan di sekitar
tahun 1709/1710. Mengapa konon? Karena datanya tidak begitu jelas.
Bahkan ada beberapa sumber meyakinkan kita bahwa di abad ke 7 pun timah
telah ditemukan. Ada adilnya jika kita katakan saja bahwa timah telah
ditemukan lama sejak abad ke 7,tapi baru ‘ditemukan’ sebagai komoditi
pada awal abad ke 18.
Kesadaran terhadap adanya harta karun bagi penduduk Bangka Belitung
sejak zaman dulu sangat rendah. Maksudnya orang Bangka dan Belitung
tidak memperhitungkannya sebagai harta kekayaannya. Mereka menganggapnya
itu harta orang lain, bukan harta mereka. Mengapa bisa demikian? Karena
pemahaman yang sejak lama tersosialisasi demikian itu. Penduduk tahu
bahwa ada pasir timah di bawah dan di halaman rumahnya. Anak-anak mereka
bahkan sering bermain pasir timah di halaman rumah di kala hujan dengan
menadahkan tangan di atas tanah, dan bisa membedakan mana pasir biasa
dan mana pasir timah. Akan tetapi orangtua mereka tidak mengajarkan
bahwa itu harta karun dan tidak mengajak keluarganya untuk menggali
halaman rumah mendapatkan timah lantas menjualnya.
Ketika diceritakan bahwa penemuan awal timah bermula dari ditemukannya
bongkahan kecil putih mengkilap akibat kebakaran hutan oleh penduduk
setempat, sejak itu pula lalu pihak yang berkuasa mengambil alih
penambangannya. Penduduk menjadi pekerja dan sebagian besar lagi menjadi
penonton. Diceritakan peristiwa ini terjadi jauh sebelum Belanda masuk
ke Pulau Bangka dan Belitung. Pemanfaatan komoditi timah tampaknya
terjadi di lintas atas kekuasaan. Kita lihat peran para Batin, kemudian
Belanda melalui VOCnya, peran raja-raja Palembang hilir mudik sibuk
dalam urusan memanfaatkan kekayaan dari penggalian timah ini. Para
penduduk tetap sebagai kuli pekerja dan sebagai penonton. Bahkan
diceritakan pula pemanfaatan timah secara bulat-bulat sebagai
gratifikasi politik oleh raja Palembang yang dibuang ke Koba kepada
penguasa Belanda, supaya bisa kembali berkuasa di Palembang. Dan banyak
cerita lain-lain yang tentang timah terkait dengan kekuasaan ini. Tidak
aneh jika Bangka Belitung menjadi salah satu pilihan utama para pejabat
untuk bertugas di wilayah ini karena tradisi sejarahnya demikian itu.
Kalaulah pemanfaatan timah sebagai barang komoditi (internasional) telah
berjalan selama hampir 4 abad lamanya, maka selama itu juga kurang
lebihnya komoditi timah dan hasilnya tidak bersentuhan dengan rakyat
bawah secara langsung. Pembangunan jalan, aliran listrik adalah hanya
merupakan implikasi dari kebutuhan utama pembangunan pengelola timah.
Lapangan pekerjaan adalah mungkin satu-satunya jasa publik dari
pengelola timah terhadap rakyat bawah. Oleh karenanya, hanya mereka
inilah yang merasa bersyukur dan mungkin berkesadaran tinggi
tentang manfaat timah bagi diri dan keluarga mereka. Anggota masyarakat
di luar itu yang jumlahnya jauh lebih banyak, semuanya berkesadaran
rendah terhadap keberadaan timah. Mereka duduk dan berbaring setiap hari
di atas gundukan mineral, tetapi tidak merasa bahwa itu mineral yang
bisa membuat orang kaya. Timah bagi mereka adalah antara ada dan tiada.
Tahun 1998 meletuslah reformasi di pusat kekuasaan. Soeharto terguling
dan tuntutan reformasi bergolak dengan garangnya. Reformasi ini bukanlah
benda yang kita rencanakan dengan baik dan melalui proses yang
kontinum. Meskipun Ia telah terpendam bertahun-tahun akibat ulah
Soeharto yang keliru, tetapi tetap ia hanya sebersit ide yang muncul
sebagai reaksi alamiah, bukan buah perencanaan yang benar-benar matang.
Reformasi 1998 adalah sebuah loncatan besar dari suatu bangsa yang belum
siap meloncat. Demikianlah yang terjadi, begitu yang punya ide berhasil
meloncat membawa serta idenya ke seberang sungai, maka rakyat yang
tidak paham abcnya reformasi semuanya kecemplung ke dalam sungai itu.
Apa implikasi reformasi itu di Bangka Belitung? Pertama adalah implikasi
kepemerintahan. Reformasi di bidang politik ini menawarkan isu
pemekaran yang segera ditangkap oleh Daerah sebagai kesempatan untuk
lebih bebas dan mandiri. Buahnya adalah Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung. Secara keseluruhan tidak ada kontroversi di sini. Kedua adalah
implikasi di bidang sosial ekonomi. Kebebasan dan kemandirian yang
ditawarkan di bidang ini lebih melahirkan kontroversi. Sistem
pengelolaan timah yang tadinya lebih kepada monopoli oleh BUMN, sejak
reformasi dibebaskan untuk lebih menyejahterakan rakyat secara langsung.
Kepahaman rakyat tentang timah yang selama berabad-abad terpendam di
bawah sadar, serentak muncul keatas permukaan. Namun, sekali lagi,
reformasi di bidang ini menimbulkan banyak masalah, karena medan dan
batas yang diperebutkan ini ternyata masih abu-abu, tidak sejelas
reformasi di bidang kepemerintahan. Muncul di sini berbagai kasus
sosial, ekonomi, hukum, dan lingkungan. Kontroversi terus berlanjut dan
berbagai pihak terus berseteru. Di pihak Pemerintah dan penegak hukum
juga bingung berada di antara berbagai kepentingan termasuk dirinya
juga.
Pertanyaan yang penting di sini adalah, apa yang harus dilakukan oleh
pihak Pemerintah di tengah perdebatan yang belum kunjung usai ini.
Jawabannya adalah jangan terus menerus ikut menari mengikuti tarian dan
gendang orang lain. Jangan kita terus menerus berdebat di atas pelepah
pisang. Begitu pelepah pisang semakin melemah, maka kita semua jatuh ke
tanah. Cepatlah bergegas membuat rencana menyejahterakan rakyat melalui
perekonomian rakyat yang sejak lama telah memberi makan rakyat secara
nyata berabad-abad. Kalaulah direncanakan dengan baik revitalisasi
pertanian lada yang pernah mendunia, karet, perikanan darat dan laut,
peternakan berbagai jenis, hortikultura dengan tanaman buah-buahan yang
unggul, pastilah akan terlihat harapan baru yang lebih baik di masa yang
akan datang.
Melalui perencanaan jangka panjang yang baik menuju pascatimah beberapa
puluh tahun yang akan datang, mudah kita lihat kini apa yang bisa
disumbangsihkan oleh teman-teman para pengelola timah di negeri ini
sebagai kompensasinya. Semuanya itu dapat di-Perda-kan sehingga kita
punya roadmap yang jelas. Seandainya ini bisa kita lakukan bersama, maka
tidak ada alasan bagi seorang Emil Salim, seorang dedengkot ekonomi,
penasehat Presiden RI, untuk mengatakan: “Jika Provinsi ini berjalan
begini-begini saja, lihatlah 30 tahun lagi Bangka Belitung akan selesai
hidupnya.” Semoga apa yang dikatakan oleh Emil Salim itu tidak sampai
terjadi karena kelengahan kita sendiri.
SUMBER :
http://www.ubb.ac.id/indexkolomrektor.php?judul=KOMPENSASI%20TIMAH%20UNTUK%20BANGKA%20BELITUNG&&nomorurut_rektor=42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar