Translate

Rabu, 04 Desember 2013

KOMPENSASI TIMAH UNTUK BANGKA BELITUNG

Radermacher seorang penulis Belanda di abad ke 18 melaporkan bahwa Pulau Bangka dan Belitung di abad 17 merupakan dua gundukan hutan yang belum tersentuh tangan para pendatang. Hasil bumi para penduduk asli yang hanya beberapa gelintir itu hanyalah hasil hutan. Karya mereka yang paling bermartabat adalah tikar pandan yang ternyata mampu terjual keluar pulau. Di samping tikar pandan ditemukan hasil hutan lain seperti gambir, damar, kemenyan, dan madu hutan. Yang lain tidak ada, minimal tidak terlaporkan.

Dimana timahnya? Belum ada yang tahu. Ini artinya bagaikan sebuah keluarga yang tidak tahu menahu jika di bawah rumahnya ada harta karun yang tak ternilai harganya. Konon, timah ditemukan di sekitar tahun 1709/1710. Mengapa konon? Karena datanya tidak begitu jelas. Bahkan ada beberapa sumber meyakinkan kita bahwa di abad ke 7 pun timah telah ditemukan. Ada adilnya jika kita katakan saja bahwa timah telah ditemukan lama sejak abad ke 7,tapi baru ‘ditemukan’ sebagai komoditi pada awal abad ke 18.

Kesadaran terhadap adanya harta karun bagi penduduk Bangka Belitung sejak zaman dulu sangat rendah. Maksudnya orang Bangka dan Belitung tidak memperhitungkannya sebagai harta kekayaannya. Mereka menganggapnya itu harta orang lain, bukan harta mereka. Mengapa bisa demikian? Karena pemahaman yang sejak lama tersosialisasi demikian itu. Penduduk tahu bahwa ada pasir timah di bawah dan di halaman rumahnya. Anak-anak mereka bahkan sering bermain pasir timah di halaman rumah di kala hujan dengan menadahkan tangan di atas tanah, dan bisa membedakan mana pasir biasa dan mana pasir timah. Akan tetapi orangtua mereka tidak mengajarkan bahwa itu harta karun dan tidak mengajak keluarganya untuk menggali halaman rumah mendapatkan timah lantas menjualnya.

Ketika diceritakan bahwa penemuan awal timah bermula dari ditemukannya bongkahan kecil putih mengkilap akibat kebakaran hutan oleh penduduk setempat, sejak itu pula lalu pihak yang berkuasa mengambil alih penambangannya. Penduduk menjadi pekerja dan sebagian besar lagi menjadi penonton. Diceritakan peristiwa ini terjadi jauh sebelum Belanda masuk ke Pulau Bangka dan Belitung. Pemanfaatan komoditi timah tampaknya terjadi di lintas atas kekuasaan. Kita lihat peran para Batin, kemudian Belanda melalui VOCnya, peran raja-raja Palembang hilir mudik sibuk dalam urusan memanfaatkan kekayaan dari penggalian timah ini. Para penduduk tetap sebagai kuli pekerja dan sebagai penonton. Bahkan diceritakan pula pemanfaatan timah secara bulat-bulat sebagai gratifikasi politik oleh raja Palembang yang dibuang ke Koba kepada penguasa Belanda, supaya bisa kembali berkuasa di Palembang. Dan banyak cerita lain-lain yang tentang timah terkait dengan kekuasaan ini. Tidak aneh jika Bangka Belitung menjadi salah satu pilihan utama para pejabat untuk bertugas di wilayah ini karena tradisi sejarahnya demikian itu.

Kalaulah pemanfaatan timah sebagai barang komoditi (internasional) telah berjalan selama hampir 4 abad lamanya, maka selama itu juga kurang lebihnya komoditi timah dan hasilnya tidak bersentuhan dengan rakyat bawah secara langsung. Pembangunan jalan, aliran listrik adalah hanya merupakan implikasi dari kebutuhan utama pembangunan pengelola timah. Lapangan pekerjaan adalah mungkin satu-satunya jasa publik dari pengelola timah terhadap rakyat bawah. Oleh karenanya, hanya mereka inilah yang merasa bersyukur dan mungkin berkesadaran tinggi tentang manfaat timah bagi diri dan keluarga mereka. Anggota masyarakat di luar itu yang jumlahnya jauh lebih banyak, semuanya berkesadaran rendah terhadap keberadaan timah. Mereka duduk dan berbaring setiap hari di atas gundukan mineral, tetapi tidak merasa bahwa itu mineral yang bisa membuat orang kaya. Timah bagi mereka adalah antara ada dan tiada.

Tahun 1998 meletuslah reformasi di pusat kekuasaan. Soeharto terguling dan tuntutan reformasi bergolak dengan garangnya. Reformasi ini bukanlah benda yang kita rencanakan dengan baik dan melalui proses yang kontinum. Meskipun Ia telah terpendam bertahun-tahun akibat ulah Soeharto yang keliru, tetapi tetap ia hanya sebersit ide yang muncul sebagai reaksi alamiah, bukan buah perencanaan yang benar-benar matang. Reformasi 1998 adalah sebuah loncatan besar dari suatu bangsa yang belum siap meloncat. Demikianlah yang terjadi, begitu yang punya ide berhasil meloncat membawa serta idenya ke seberang sungai, maka rakyat yang tidak paham abcnya reformasi semuanya kecemplung ke dalam sungai itu.

Apa implikasi reformasi itu di Bangka Belitung? Pertama adalah implikasi kepemerintahan. Reformasi di bidang politik ini menawarkan isu pemekaran yang segera ditangkap oleh Daerah sebagai kesempatan untuk lebih bebas dan mandiri. Buahnya adalah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Secara keseluruhan tidak ada kontroversi di sini. Kedua adalah implikasi di bidang sosial ekonomi. Kebebasan dan kemandirian yang ditawarkan di bidang ini lebih melahirkan kontroversi. Sistem pengelolaan timah yang tadinya lebih kepada monopoli oleh BUMN, sejak reformasi dibebaskan untuk lebih menyejahterakan rakyat secara langsung. Kepahaman rakyat tentang timah yang selama berabad-abad terpendam di bawah sadar, serentak muncul keatas permukaan. Namun, sekali lagi, reformasi di bidang ini menimbulkan banyak masalah, karena medan dan batas yang diperebutkan ini ternyata masih abu-abu, tidak sejelas reformasi di bidang kepemerintahan. Muncul di sini berbagai kasus sosial, ekonomi, hukum, dan lingkungan. Kontroversi terus berlanjut dan berbagai pihak terus berseteru. Di pihak Pemerintah dan penegak hukum juga bingung berada di antara berbagai kepentingan termasuk dirinya juga.

Pertanyaan yang penting di sini adalah, apa yang harus dilakukan oleh pihak Pemerintah di tengah perdebatan yang belum kunjung usai ini. Jawabannya adalah jangan terus menerus ikut menari mengikuti tarian dan gendang orang lain. Jangan kita terus menerus berdebat di atas pelepah pisang. Begitu pelepah pisang semakin melemah, maka kita semua jatuh ke tanah. Cepatlah bergegas membuat rencana menyejahterakan rakyat melalui perekonomian rakyat yang sejak lama telah memberi makan rakyat secara nyata berabad-abad. Kalaulah direncanakan dengan baik revitalisasi pertanian lada yang pernah mendunia, karet, perikanan darat dan laut, peternakan berbagai jenis, hortikultura dengan tanaman buah-buahan yang unggul, pastilah akan terlihat harapan baru yang lebih baik di masa yang akan datang.

Melalui perencanaan jangka panjang yang baik menuju pascatimah beberapa puluh tahun yang akan datang, mudah kita lihat kini apa yang bisa disumbangsihkan oleh teman-teman para pengelola timah di negeri ini sebagai kompensasinya. Semuanya itu dapat di-Perda-kan sehingga kita punya roadmap yang jelas. Seandainya ini bisa kita lakukan bersama, maka tidak ada alasan bagi seorang Emil Salim, seorang dedengkot ekonomi, penasehat Presiden RI, untuk mengatakan: “Jika Provinsi ini berjalan begini-begini saja, lihatlah 30 tahun lagi Bangka Belitung akan selesai hidupnya.” Semoga apa yang dikatakan oleh Emil Salim itu tidak sampai terjadi karena kelengahan kita sendiri.


SUMBER :
http://www.ubb.ac.id/indexkolomrektor.php?judul=KOMPENSASI%20TIMAH%20UNTUK%20BANGKA%20BELITUNG&&nomorurut_rektor=42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar